Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah aqidah sebenarnya memang sangat luas cakupannya. Mulai dari masalah yang prinsipil seperti tentang Ke-Esa-an Allah SWT, kenabian para utusan Allah, keberadan dan turunnya kitab-kitab suci dari Allah kepada umat manusia hingga masalah keyakinan tentang hari akhir (qiyamah).
Tapi dari masalah yang pokok (ushul) itu juga bisa berkembang ke wilayah yang furu’`, meski tema kajiannya masih di bidang aqidah.
Kita ambil contoh sederhana, misalnya tentang kenabian. Yang menjadi prinsip (ushul) adalah kita meyakini bahwa Allah SWT mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan perintah-perintah dari Allah dan kita wajib menerima dan menjalankan pesan-pesan yang dibawa oleh para nabi itu. Itu prinsip dasar yang bersifat ushul. Sampai disitu, tidak ada celah untuk berijtihad atau diskusi.
Tapi, ketika pembahasan sampai kepada siapa sajakah nama para nabi itu? PAda tahun berapa para nabi itu hidup? Di negeri mana saja mereka pernah tinggal? Apakah makanan pokok para nabi itu dan menggunakan bahasa apakah mereka ketika berbicara? Semua itu sudah bukan urusan prinsip aqidah lagi.
Meski tema besarnya masih seputar para nabi yang merupakan bagian dari kajian aqidah. Maka pembahasan kita sudah sampai di wilayah furu’ (cabang) meski masih dalam tema aqidah. Dalam masalah ini, ijtihad dibenarkan lantaran 2 alasan.
Pertama, karena meski bagian dari aqidah, tapi nilainya sudah masuk wilayah furu’. Kedua, karena dalil-dalil yang tersedia sangat terbatas dan tidak qath’i. Misalnya hadits-haditsnya tidak sampai derajat shahih, setidaknya masih jadi perdebatan para ulama.
Perpanjangan contoh dalam masalah ijtihad di wilayah aqidah ini misalnya pertanyaan berikut ini : Apakah Khidhir itu seorang nabi atau cuma orang shalih? Demikian juga dengan Luqman al-Hakim yang namanya dipakai sebagai nama surat di Quran dan disebut-sebut dalam ayat di dalamnya. Apakah dia seorang shalih ataukah dia seorang nabi?
Jawabnya, para ulama masih berbeda pandangan dalam ijtihad mereka, Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa Khidhir dan Luqman adalah nabi utusan Allah. Namun sebagian lainnya menolak kenabian kedua tokoh yang kisahnya disebutkan dalam Quran.
Jadi, meski tema tentang nabi merupakan bagian dari tema aqidah, tapi nilainya belum tentu prinsipil. Kita mengakui Khidhir nabi atau bukan, sama sekali tidak mengganggu nilai iman dan akidah kita. Terserah, Luqman al-Hakim itu kita akui sebagai nabi atau tidak, tidak ada pengaruhnya buat status keislaman kita.
Tapi apakah Muhammad SAW itu nabi terakhir ataukah ada nabi lagi yang diutus ke dunia, nah….itu adalah masalah esensial, prinsipil, mendasar dan tidak main-main dalam aqidah Islam.
Mengakui keberadaan nabi lagi sesudah Muhammad SAW diangkat menjadi nabi di tahun 610 masehi, adalah tindakan yang merusak status keislaman seseorang. Orang itu berhak diseret ke mahkamah syariah utnuk diadili dan bila tetap ‘keukeuh’ dengan pendiriannya, dia bisa dijatuhkan vonis resmi kafir oleh pihak negara.
Metodologi Ilmu Aqidah : Ijithad Manusia
Dahulu Al-Asy’ari dan Al-Maturidi pernah membuat metodologi dalam memahami dan mengenal Allah SWT. Lalu lahirlah istilah ’sifat 20′ yang sering kita dengar itu : Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatu lil Hawadisti dan seterusnya.
Oleh sebagian kalangan, metode mengenal Allah SWT dengan cara ini dianggap tidak benar. Karena masih menggabungkan dalil aqli dan dalil naqli. Maunya mereka, tidak boleh ada wilayah ijtihad dalam mengenal Allah. Maka seharusnya tidak boleh ada unsur wilayah dalil aqli (logika).
Sebagai gantinya, sekarang ini yang banyak populer diajarkan dalam mengenal Allah adalah produk dari Saudi Arabia, yaitu : Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat.
Tapi kalau kita telusuri lebih jauh, sebenarnya 3 buah jenis tauhid ini pun tidak lain hanya hasil ijitihad manusia saja. Al-Quran sama sekali tidak pernah menyebut-nyebut tiga istilah itu. Bahkan hadits nabawi juga sama sekali tidak menyebut-nyebutkannya. Quran hanya menyebut istilah rabb, ilah, asma’, sedangkan istilah shifat tidak kita temukan di dalam Quran.
Jadi metodologi pengenalan Allah lewat tiga jenis tauhid ini sebenarnya 100% adalah hasil ijtihad manusia juga. Kalau tidak salah, tiga jenis tauhid itu diperkenalkan oleh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam kitabuttauhid yang dikarangnya beberapa ratus tahun kemarin ini saja. Sebelumnya, isitlah ini kurang dikenal di dalam dunia Islam.
Wallahu a’lam bishshawab, wasalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
dalam http://mediamuslim.blogdetik.com/pabochech/527/bolehkah-ijtihad-dalam-masalah-aqidah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar antum di bawah ini. Masukan dari antum sangat berharga bagi kami.