Rabu, 27 April 2011
Download Tafsir Al Quran Ibnu Katsir Jus 1-26 Part 1
Silahkan Klik Link di bawah ini untuk download
Juz 1
Juz 2
Juz 3
Juz 4
Juz 5
Juz 6
Juz 7
Juz 8
Juz 9
Juz 10
Juz 11
At Taubah
Yunus
Juz 12
Huud
Yusuf
Juz 13
Juz 14
Juz 15
Juz 16
Al Kahfi
Maryam
Thoha
Juz 17
Al Anbiyaa
Al Hajj
Juz 18
Al Mu'minun
Juz26
Al Ahqaaf
Muhammad
Al Fath
Al Hujurat
Qaaf
Untuk juz dan surat selanjutnya... Tunggu edisi berikutnya.
Juz 1
Juz 2
Juz 3
Juz 4
Juz 5
Juz 6
Juz 7
Juz 8
Juz 9
Juz 10
Juz 11
At Taubah
Yunus
Juz 12
Huud
Yusuf
Juz 13
Juz 14
Juz 15
Juz 16
Al Kahfi
Maryam
Thoha
Juz 17
Al Anbiyaa
Al Hajj
Juz 18
Al Mu'minun
Juz26
Al Ahqaaf
Muhammad
Al Fath
Al Hujurat
Qaaf
Untuk juz dan surat selanjutnya... Tunggu edisi berikutnya.
Rabu, 20 April 2011
Larangan Saling Memberikan Gelar yang Jelek
Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim," (Al-Hujuraat: 11).
Diriwayatkan dari Abu Jubairah bin adh-Dhahak, ia berkata, "Firman Allah, walaa tanaabazu bil alqaab turun kepada kami dan Bani Salamah." Ia kembali berkata, "Ketika Rasulullah saw. datang mengunjungi kami tidak seorangpun diantara kami kecuali ia memiliki dua nama, lalu Nabi saw. memanggil, 'Ya fulan!' Lantas para sahabat berkata, 'Ya Rasulullah, ia marah dipanggil dengan nama itu'," (Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [330]).
Kandungan Bab:
- Haram hukumnya memberikan gelar yang jelek dengan alasan sebagai berikut:
- Memberi gelar seperti ini merupakan pangkal terjadinya ejekan dan ini diharamkan oleh nash.
- Allah menjuluki perbuatan ini dengan nama fasik.
- Allah menyebutkan zhalim bagi orang yang tidak bertaubat dari perbuatan tersebut.
- Hukum haram berkaitan dengan orang yang membenci gelar tersebut. Namun jika seseorang yang menyukai gelar itu dan unsur pujian maka hal tersebut dibolehkan. Dengan syarat tidak mengandung pujian yang berlebihan. Ini dapat dibuktikan dari perbuatan Rasulullah saw. yang memberi gelar kepada beberapa sahabat, seperti Khalid bin Walid beliau beri gelar Saifullah (pedang Allah), Abu Ubaidah dengan gelar Amiinul Ummah (kepercayaan ummat) dan Ja'far bin Abi Thalib dengan gelar Dzul Janahai (pemilik dua sayap).
- Barangsiapa yang dijuluki dengan gelar yang ia benci maka tidak boleh dipanggil dengan gelar tersebut, kecuali sebagai identitas jika ia tidak diketahui kecuali dengan gelar itu untuk membedakan dengan yang lain, bukan sebagai ejekan. Namun, jika masih memungkinkan untuk memakai cara lain, hal itu merupakan perbuatan yang dibenci dan tidak diragukan lagi keharamannya. Allahu a'lam. An-Nawawi berkata dalam kitabnya al-Adzkaar (I/721), "Ulama bersepakat diharamkannya memberi gelar seseroang dengan gelar yang ia benci, baik gelar tersebut diambil dari sifatnya, seperti al-A'masy (si rabun), al-Ajlah (si botak)... atau menjulukinya dengan sifat ibu atau ayahnya atau julukan lainnya yang tidak disukai."Para ulama sepakat boleh memberikan julukan seperti itu jika seseorang tidak dikenal kecuali dengan gelar itu.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 3/324-327.
Etika Makan dan Minum
Orang Muslim melihat makanan dan minuman itu sebagai sarana, dan bukan tujuan. Ia makan dan minum untuk menjaga kesehatan badannya karena dengan badan yang sehat, ia bisa beribadah kepada Allah Ta'ala dengan maksimal. Itulah ibadah yang menyebabkannya memperoleh kemuliaan, dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia tidak makan minum karena makanan dan minuman, serta syahwat keduanya saja.
Oleh karena itu, jika ia tidak lapar ia tidak makan, dan jika ia tidak kehausan maka ia tidak minum. Rasulullah saw. bersabda, "Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali kami lapar, dan jika kami makan maka kami tidak sampai kekenyangan."
Oleh karena itu, jika ia tidak lapar ia tidak makan, dan jika ia tidak kehausan maka ia tidak minum. Rasulullah saw. bersabda, "Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali kami lapar, dan jika kami makan maka kami tidak sampai kekenyangan."
Etika Sebelum Makan
Etika sebelum makan adalah sebagai berikut :
1. Makanan dan minumannya halal, bersih dari kotoran-kotoran haram, dan syubhat, karena Allah Ta'ala berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian." (Al-Baqarah:172).
Yang dimaksud rizki yang baik ialah halal yang tidak ada kotoran di dalamnya.
2. Ia meniatkan makanan dan minumannya untuk menguatkan ibadahnya kepada Allah Ta‘ala, agar ia diberi pahala karena apa yang ia makan, dan ia minum. Sesuatu yang mubah jika diniatkan dengan baik, maka berubah statusnya menjadi ketaatan dan seorang Muslim diberi pahala karenanya.
3. Ia mencuci kedua tangannya sebelum makan jika keduanya kotor, atau ia tidak dapat memastikan kebersihan keduanya.
4. Ia meletakkan makanannya menyatu di atas tanah, dan tidak di atas meja makan, karena cara tersebut lebih dekat kepada sikap tawadlu', dan karena ucapan Anas bin Malik ra, "Rasulullah saw. pernah makan di atas meja makan atau di piring." (Diriwayatkan Al-Bukhari).
5. Ia duduk dengan tawadlu dengan duduk berlutut, atau duduk di atas kedua tumitnya, atau menegakkan kaki kanannya dan ia duduk di atas kaki kirinya, seperti duduknya Rasulullah saw., karena Rasulullah saw. bersabda,
"Aku tidak makan dalam keadaan bersandar, karena aku seorang budak yang makan seperti makannya budak, dan aku duduk seperti duduknya budak." (Diriwayatkan Al-Bukhari).
6. Menerima makanan yang ada, dan tidak mencacatnya, jika ia tertarik kepadanya maka ia memakannya, dan jika ia tidak tertarik kepadanya maka ia tidak memakannya, karena Abu Hurairah ra berkata, "Rasulullah saw. tidak pernah sekali pun mencacat makanan, jika beliau tertarik kepadanya maka beliau memakannya, dan jika beliau tidak tertarik kepadanya maka beliau meninggalkannya." (Diriwayatkan Abu Daud).
7. Ia makan bersama orang lain, misalnya dengan tamu, atau istri, atau anak, atau pembantu, karena Rasulullah saw. bersabda,
"Berkumpullah kalian di makanan kalian niscaya kalian diberi keberkahan di dalamnya." (Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi yang men-shahih-kannya).
Etika ketika sedang Makan
Di antara etika sedang makan ialah sebagai berikut:
1. Memulai makan dengan mengucapkan basmalah, karena Rasulullah saw. bersabda,
"Jika salah seorang dari kalian makan, maka sebutlah nama Allah Ta'ala. Jika ia lupa tidak menyebut nama Allah, maka hendaklah ia menyebut nama Allah Ta‘ala pada awalnya dan hendaklah ia berkata, Dengan nama Allah, sejak awal hingga akhir." (Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi yang men-shahih-kannya).
2. Mengakhiri makan dengan memuji Allah Ta‘ala, karena Rasulullah saw. bersabda,
"Barangsiapa makan makanan, dan berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang memberi makanan ini kepadaku, dan memberikannya kepadaku tanpa ada daya dan upaya dariku', maka dosa-dosa masa lalunya diampuni." (Muttafaq Alaih).
3. Ia makan dengan tiga jari tangan kanannya, mengecilkan suapan, mengunyah makanan dengan baik, makan dari makanan yang dekat dengannya (pinggir) dan tidak makan dari tengah piring, karena dalil-dalil berikut
Rasulullah saw. bersabda kepada Umar bin Salamah,
"Hai anak muda, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah dari makanan yang dekat denganmu (pinggir)." (Muttafaq Alaih).
"Keberkahan itu turun di tengah makanan. Maka oleh karena itu, makanlah dari pinggir-pinggirnya, dan janqan makan dari tengahnya." (Muttafaq Alaih).
4. Mengunyah makanan dengan baik, menjilat piring makanannya sebelum mengelapnya dengan kain, atau mencucinya dengan air, karena dalil-dalil berikut:
Rasulullah saw. bersabda,
"Jika salah seorang dari kalian makan makanan, maka ia jangan membersihkan jari-jarinya sebelum ia menjilatnya." (Diriwayatkan Abu Daud dan At-Tirmidzi yang men-shahih-kannya).
Ucapan Jabir bin Abdullah ra bahwa Rasulullah saw. memerintahkan menjilat jari-jari dan piring. Beliau bersabda,
"Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di makanan kalian yang mana keberkahan itu berada." (Diriwayatkan Muslim).
5. Jika ada makanannya yang jatuh, ia mengambil dan memakannya, karena Rasulullah saw. bersabda,
"Jika sesuap makanan kalian jatuh, hendaklah ia mengambilnya, membuang kotoran daripadanya, kemudian memakan sesuap makanan tersebut, serta tidak membiarkannya dimakan syetan." (Diriwayatkan Muslim).
6. Tidak meniup makanan yang masih panas, memakannya ketika telah dingin, tidak bernafas di air ketika minum, dan bernafas di luar air hingga tiga kali, karena dalil-dalil berikut:
Hadits Anas bin Malik ra berkata, "Rasulullah saw. bernafas di luar tempat minum hingga tiga kali." (Muttafaq Alaih).
Hadits Abu Said Al-Khudri ra, bahwa Rasulullah saw. melarang bernafas di minuman. (Diriwayatkan At-Tirmidzi yang men-shahih-kannya).
Hadits lbnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw. melarang bernafas di dalam minuman, atau meniup di dalamnya. (Diriwayatkan At-Tirmidzi yang men-shahih-kannya).
7. Menghindari kenyang yang berlebih-lebihan, karena Rasulullah saw., bersabda,
"Anak Adam tidak mengisi tempat yang lebih buruk daripada perutnya. Anak Adam itu sudah cukup dengan beberapa suap yang menguatkan tulang punggungnya. Jika ia tidak mau (tidak cukup), maka dengan seperti makanan, dan dengan seperti minuman, dan sepertiga yang lain untuk dirinya." (Diriwayatkan Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim. Hadits ini hasan).
8. Memberikan makanan atau minuman kepada orang yang paling tua, kemudian memutarnya kepada orang-orang yang berada di sebelah kanannya dan seterusnya, dan ia menjadi orang yang terakhir kali mendapatkan jatah minuman, karena dalil-dalil berikut:
Sabda Rasulullah saw.,
"Mulai dengan orang tua. Mulailah dengan orang tua."
Maksudnya, mulailah dengan orang-orang tua.
Rasulullah saw. meminta izin kepada Ibnu Abbas untuk memberi makanan kepada orang-orang tua di sebelah kiri beliau, sebab Ibnu Abbas berada di sebelah kanan beliau, sedang orang-orang tua berada di sebelah kiri beliau. Permintaan izin Rasulullah saw. kepada Ibnu Abbas untuk memberikan makanan kepada orang-orang tua di sebelah kiri beliau itu menunjukkan bahwa orang yang paling berhak terhadap minuman ialah orang yang duduk di sebelah kanan.
Sabda Rasulullah saw.,
"Sebelah kanan, kemudian sebelah kanan." (Muttafaq Alaib).
"Pemberi minuman ialah orang yang paling akhir meminum."
9. Ia tidak memulai makan, atau minum, sedang di ruang pertemuannya terdapat orang yang lebih berhak memulainya, karena usia atau karena kelebihan kedudukannya, karena hal tersebut melanggar etika, dan menyebabkan pelakunya dicap rakus. Salah seorang penyair berkata,
Jika tangan-tangan dijulurkan kepada perbekalan,
Maka aku tidak buru-buru mendahului mereka,
sebab orang yang paling rakus ialah
orang yang paling buru-buru terhadap makanan.
10. Tidak memaksa teman atau tamunya dengan berkata kepadanya, ‘silakan makan', namun ia harus makan dengan etis (santun) sesuai dengan kebutuhannya tanpa merasa malu-malu, atau memaksa diri malu-malu, sebab hal tersebut menyusahkan teman atau tamunya, dan termasuk riya', padahal riya' itu diharamkan.
11. Ramah terhadap temannya ketika makan bersama dengan tidak makan lebih banyak dari porsi temannya, apalagi jika makanan tidak banyak, karena makan banyak dalam kondisi seperti itu termasuk memakan hak (jatah) orang lain.
12. Tidak melihat teman-temannya ketika sedang makan, dan tidak melirik mereka, karena itu bisa membuat malu kepadanya. Ia harus menahan pandangannya terhadap wanita yang makan di sekitarnya, dan tidak mencuri-curi pandangan terhadap mereka, karena hal tersebut menyakiti mereka membuat mereka marah dan ia pun mendapat dosa karena perbuatannya tersebut.
13. Tidak mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dipandang tidak sopan oleh masyarakat setempat. Misalnya, ia tidak boleh mengibaskan tangannya di piring, tidak mendekatkan kepalanya ke piring ketika makan agar tidak ada sesuatu yang jatuh dari kepalanya ke piringnya, ketika mengambil roti dengan giginya ia tidak boleh mencelupkan sisanya di dalam piring, dan tidak boleh berkata jorok, sebab hal ini mengganggu salah satu temannya, dan mengganggu seorang Muslim itu haram hukumnya.
14. Jika ia makan bersama orang-orang miskin, ia harus mendahulukan orang miskin tersebut. Jika ia makan bersama saudara-saudaranya, ia tidak ada salahnya bercanda dengan mereka dalam batas-batas yang diperbolehkan. Jika ia makan bersama orang yang berkedudukan, maka ia harus santun, dan hormat terhadap mereka
Etika Setelah Makan
Di antara etika setelah makan ialah sebagai berikut:
1. Ia berhenti makan sebelum kenyang, karena meniru Rasulullah saw. agar ia tidak jatuh dalam kebinasaan, dan kegemukan yang menghilangkan kecerdasannya.
2. Ia menjilat tangannya, kemudian mengelapnya, atau mencucinya. Namun mencucinya lebih baik.
3. Ia mengambil makanan yang jatuh ketika ia makan, karena ada anjuran terhadap hal tersebut, dan karena itu adalah bagian dari syukur atas nikmat.
4. Membersihkan sisa-sisa makanan di gigi-giginya, dan berkumur untuk membersihkan mulutnya, karena dengan mulutnya itulah ia berdzikir kepada Allah Ta‘ala, berbicara dengan saudara-saudaranya, dan karena kebersihan mulut itu memperpanjang kesehatan gigi.
5. Memuji Allah Ta‘ala setelab ia makan, dan minum. Ketika ia minum susu, ia berkata, "Ya Allah, berkahilah apa yang Engkau berikan kepada kami, dan tambahilah rizki-Mu (kepada kami)". Jika berbuka puasa di tempat orang, ia berkata, "Orang-orang yang mengerjakan puasa berbuka puasa di tempat kalian, orang-orang yang baik memakan makanan kalian, dan semoga para malaikat mendoakan kalian."
Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002), hlm. 185-191.
dikutip dari
http://alislamu.com/etika/162-etika-makan-dan-minum.html
Kamis, 14 April 2011
SELAMAT DAN SUKSES
Retna Kusuma A (Staff Bidang Syiar FKIF 2009)
Siswanto (Staff Bidang Pembinaan dan Pengkaderan FKIF 2009)
Senin, 11 April 2011
Seragam FKIF 1432 H
Informasi Seragam FKIF 1432 H
Exploring Science Through Qur’an And Sunnah (merupakan jargon FKIF 1432 H)
(Nama ada di bagian depan sebelah bawah)
Untuk bagian depan sengaja tidak di tampilkan dan info lebih lanjut tentang gambaran desain hubungi no2 yang tertera di bawah ini
Desain di buat dengan sangat2 sederhana, dan insyallah hasilnya tidak mengecewakn (kalau mengecewakan Duit kembali) serta di perkirakan awal bulan MEI 2011 disahakan JADI jika teman2 segera memenuhi atau mematuhi mekanisme yang ada :
1. 1)Harga MAX Rp. 85.000,- (angsuran pertama minimal Rp.40.000,- di bayarkan max tgl 17 April 2011 / boleh lebih dengan kesepakatan yang telah di sepakati)
2. 2)Pembayaran bisa melelui
Ikhwan--- Akh Eko Nur (085726364763)
Akhwat--- Ukhti Eka Nur (085740171953)
(Atau bisa melalui Sekertaris di setiap Bidang)
(atau juga bisa langsung menghubungi ketua FKIF 1432H dan siap menerima pangilan 24 jam)
3. 3)Segera berkoordinasi terkait dengan nama dan ukuran jaket tersebut dengan format
Ketik NAMA (spasi) Ukuran (spasi) Nama Jaket
Kirim ke 085726364763
Exp” Eko Nur Pujianto M Akh Eko”
(untuk ukuran di kira-kira sendiri ya, patokanya adalah untuk ketua FKIF 1432 H (tulus prihadi) itu beliau ukuranya M dan itu pas tidak lebih tidak kurang, intinya adalah kalu ukuran besar bisa di kecilin tapi kalu ukuran kecil sulit untuk di besarkan)
Info lebih lanjut Hubungi
FKIF 1432 H (085291378372 )
Dan INGAT….!!! seragam ini sifatnya tidak wajib tetapi di haruskan…
syukron jazakumullah...
Minggu, 10 April 2011
Aku Ingin Lari Dari Dakwah Ini
Teruntuk my partner
Dalam naungan cintaNya…
Ukhtifillah, aku hanya ingin berbagi dengan anti. Tentang sesuatu yang mungkin sering muncul dalam diri, termasuk diri saya pribadi. Partner,,, ku harap kau tidak merasa sendiri lagi. Karena toh masih ada Allah, ketika memang anti sudah tidak menganggap keberadaanku.
Kadang mungkin terbesit pikiran, aku pengen keluar dari sistem ini. Ya, begitu juga yang terjadi padaku. Sebuah tulisan di bawah ini mungkin bisa membuat kita berpikir ulang akan pernyataan tadi.
Aku ingin lari dari DAKWAH ini
Mba, dulu ana merasa semangat dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.
Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin ...antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.
“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja..." jawab mad'u itu.
Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
" Ukhti, bila suatu kali anti naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan anti lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?" tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.
Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.
"Apakah anti memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" sang murabbi mencoba memberi opsi.
"Bila anti terjun ke laut, sesaat anti akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan anti untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana anti mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana anti mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.
Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
“Ukhti, apakah anti masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.
"Bagaimana bila temyata mobil yang anti kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata mogok? Anti akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.
Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup mba, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan..."
"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.
Sang murabbi tersenyum. "Ukhti, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."
"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan anti. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata anti dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu anti lebih baik dari mereka."
"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.
"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."
"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"
Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.
"Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
"Siapa bilang kapasitas anti lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada anti? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!" sahut sang murabbi.
"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga anti dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil (dengki, benci, iri hati) anti terhadap saudara anti sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."
Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari asyik tidurnya.
Malam itu, sang mad'u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang diharapkan dari Antum/antunna yang membaca tulisan ini.. Insya Allah kita tetap istiqamah di jalan dakwah ini.. Dalam samudera tarbiyah ini..
Wallahu a'lam bisshawab.
Sedikit perenungan untuk kita bersama. Aku harap kita bisa saling mengingatkan. Ketika yang satu lemah, yang lain dapat menguatkan. Partner... bersemangatlah.
Bersemangat untuk terus bersemangat. Hingga futur itu futur mengikuti kita.
Afwan tsumma afwan.
Dalam naungan cintaNya…
Ukhtifillah, aku hanya ingin berbagi dengan anti. Tentang sesuatu yang mungkin sering muncul dalam diri, termasuk diri saya pribadi. Partner,,, ku harap kau tidak merasa sendiri lagi. Karena toh masih ada Allah, ketika memang anti sudah tidak menganggap keberadaanku.
Kadang mungkin terbesit pikiran, aku pengen keluar dari sistem ini. Ya, begitu juga yang terjadi padaku. Sebuah tulisan di bawah ini mungkin bisa membuat kita berpikir ulang akan pernyataan tadi.
Aku ingin lari dari DAKWAH ini
Mba, dulu ana merasa semangat dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.
Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin ...antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.
“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja..." jawab mad'u itu.
Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
" Ukhti, bila suatu kali anti naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan anti lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?" tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.
Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.
"Apakah anti memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" sang murabbi mencoba memberi opsi.
"Bila anti terjun ke laut, sesaat anti akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan anti untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana anti mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana anti mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.
Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
“Ukhti, apakah anti masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.
"Bagaimana bila temyata mobil yang anti kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata mogok? Anti akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.
Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.
Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup mba, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan..."
"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.
Sang murabbi tersenyum. "Ukhti, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."
"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan anti. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata anti dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu anti lebih baik dari mereka."
"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.
"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."
"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"
Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.
"Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
"Siapa bilang kapasitas anti lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada anti? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!" sahut sang murabbi.
"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga anti dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil (dengki, benci, iri hati) anti terhadap saudara anti sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."
Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari asyik tidurnya.
Malam itu, sang mad'u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang diharapkan dari Antum/antunna yang membaca tulisan ini.. Insya Allah kita tetap istiqamah di jalan dakwah ini.. Dalam samudera tarbiyah ini..
Wallahu a'lam bisshawab.
Sedikit perenungan untuk kita bersama. Aku harap kita bisa saling mengingatkan. Ketika yang satu lemah, yang lain dapat menguatkan. Partner... bersemangatlah.
Bersemangat untuk terus bersemangat. Hingga futur itu futur mengikuti kita.
Afwan tsumma afwan.
Langganan:
Postingan (Atom)